Terlihat jelas bahwa wacana politik identitas ini mulai kerap muncul di masa-masa pemilihan presiden (pilpres) 2019, tepatnya sejak para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ditetapkan oleh partai koalisi. Dari tiba-tiba menyebut pasangan calon yang diusungnya sebagai santri hingga terkahir mengkristal disebut sebagai ulama. Ini politik nihil substansi karena bangsa Indonesia tidak hanya berisi orang-orang Islam, tetapi juga umat agama lain. Jangan sampai umat agama lain yang juga bagian dari bangsa Indonesia apatis dalam partisipasi membangun bangsa sebab yang diwacanakan hanya persoalan itu-itu saja.
Akhirnya, sampailah tulisan ini pada persoalan penyebutan ulama. Penyematan gelar ulama tidak dapat dilakukan secara srampangan, semena-mena, tanpa ajar dan dasar, apalagi hanya untuk kepentingan politik praktis. Nabi Muhammad SAW menyebutkan, al-‘ulama waratsatul anbiya’, ulama merupakan pewaris para Nabi. Warisan Nabi tidak hanya ilmu agama, tetapi juga keistimewaan dan akhlak mulia terhadap sesama makhluk Allah di muka bumi.
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dalam bukunya Secercah Tinta (2014) menjelaskan tentang siapakah ahli dzikir itu. Ia menyatakan bahwa ahli dzikir adalah para wali dan para ulama yang dalam hatinya terdapat rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT. Dalam QS Al-Anbiya ayat 7 disebutkan bahwa ahli dzikir ialah orang-orang berilmu. Namun, perlu dipahami bahwa ahli dzikir bukan sekadar orang yang pintar. Itu artinya semua orang pintar bukan berarti ahli dzikir. Dengan kata lain, semua orang pintar tidak bisa dikatakan sebagai ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar